Bab 920
Mulanya Wilmar menyerang, tetapi dia malah dipukul balik sekarang yang membuatnya mundur beberapa langkah.
Serangan kaki Raditya yang kuat membuat Wilmar mendengkus. Wilmar jelas–jelas mulai kelelahan.
“Hati–hati, Wilmar,” Anita tiba–tiba berseru.
Begitu Raditya mendengar Anita, pukulan Raditya yang semula mengarah ke sisi leher Wilmar langsung mundur. Di
sisi lain, Wilmar sedang bersiap meninju balik sehingga dia tidak akan goyah meksipun Raditya meninjunya. Tinju
Wilmar mendarat di pipi Raditya yang membuat pria jangkung itu agak mundur sedikit sebelum kembali
menyeimbangkan dirinya. Anita merasa sangat ketakutan sampai–sampai mukanya memucat. Lalu, Anita segera
bangkit dari tempat duduknya. Dia berlari ke arah Raditya selagi darah menetes dari sudut mulut Raditya.
“Maafkan saya, Raditya,” kata Wilmar sambil meminta maaf.
Sementara itu, Raditya menyeka darah itu dan menjawab dengan tenang, “Tidak apa–apa.”
“Kamu berdarah.” Anita menatap Raditya dengan cemas,
Follow on NovᴇlEnglish.nᴇtRaditya menatap Sandro dan berkata, “Kamu berikutnya.”
Sandro meregangkan tubuh dan berjalan sambil tersenyum. “Baiklah, Pak Raditya. Saya segera datang.”
Raditya segera merangkul Anita, lalu menariknya ke zona aman. Di sisi lain, Anita menyeret Raditya untuk duduk di
kursi terdekat. Anita memeriksa luka Raditya dengan hati–hati. Sementara itu, Teddy dan Jodi saling berbisik.
“Lihat, Raditya benar. Wanita benar–benar bisa memengaruhi kecepatan untuk bersiap–siap. Kalau Nona Anita
tidak mengatakan apa pun, Pak Raditya tidak akan terkena pukulan.”
“Benar sekali! Lihat, suasana hati Pak Raditya membaik setelah diperhatikan oleh seorang wanita cantik.”
“Pak Raditya pasti sangat menyukai Nona Anita karena seruannya saja sudah cukup untuk memengaruhi strategi
serangan Pak Raditya.”
“Kalau begitu, Nona Anita pasti wanita favorit Pak Raditya!”
“Kalau begitu, apa aman untuk mengatakan kalau Pak Raditya dan Nona Anita adalah pasangan resmi?”
Para bawahan itu melirik ke kursi seberang tempat Raditya yang sedikit memiringkan kepala agar Anita bisa
memeriksa cederanya. Lagi pula, pukulan Wilmar itu sangat kuat meskipun Wilmar sedikit goyah menjelang akhir
pertandingan.
“Saya akan membawakan es untukmu,” kata Anita kepada Raditya, lalu dia berlari pergi.
Saat Anita mengambil es dari dapur sambil berjalan keluar dari markas, Anita melihat Raditya berjalan ke arah
Anita dengan pipi bengkak. Anita merasa panik sambil bertanya kepada Raditya, “Kenapa kamu ada di sini? Saya
sudah menyiapkan kompres es.”
“Kamu bisa mengompres di kamar saya,” kata Raditya. Hati Anita melonjak. Wanita itu setuju, lalu mengikuti
Raditya kembali ke kamar dengan ekspresi malu–malu.
Saat Raditya membuka pintu, Raditya bergeser ke samping agar Anita bisa masuk terlebih dahulu. Anita segera
melewati Raditya seolah–olah takut orang lain akan melihat mereka berdua. Setelah menutup pintu, Raditya
melepas baju yang ketat dan basah oleh keringat dan memperlihatkan tubuhnya kepada Anita. Begitu Anita
menoleh dan melihat Raditya, jantung Anita berdegup kencang. Apa yang diinginkan pria ini dari saya? Kenapa pria
ini melepas baju begitu dia masuk? Apa dia mau…
Raditya memberi tahu Anita, “Saya mandi dulu ya. Tunggu di sini.”
Follow on Novᴇl-Onlinᴇ.cᴏm“Baiklah!” Anita mengangguk sambil memperhatikan Raditya berjalan menuju kamar mandi, lalu meletakkan
kompres es dan menunggu.
Durasi mandi Raditya cukup cepat. Dia keluar dari kamar mandi lebih dari 10 menit kemudian. Raditya hanya
memakai celana hitam panjang, sedangkan bagian atas tubuhnya terbuka. Di saat yang sama, rambutnya masih
meneteskan air. Pemandangan ini yang ditambah dengan kulit Raditya yang kecokelatan dan sehat membuatnya
tampak sedikit liar.
Anita mengagumi pemandangan ini selama beberapa detik sebelum tersipu malu dan melihat ke bawah. Raditya
punya badan yang luar biasa. Menurut Anita, tubuh Raditya itu sempurna. Kenapa Anita merasa sangat malu? Apa
Raditya berencana melakukan sesuatu dengannya?
Suara gemeresik pakaian datang dari belakang Anita. Setelah memakai kaus abu–abu longgar, Raditya pindah
untuk duduk di sofa dan menyandarkan kepala di lengan Anita. “Kemarilah.”
Anita yang memegang kompres es, kemudian duduk di samping Raditya untuk mengompres pipinya yang terluka.
“Apa masih sakit?” tanya Anita dengan lembut.
“Tidak,” jawab Raditya dengan mata setengah tertutup sambil menatap wajah Anita.
Anita sudah memperhatikan luka Raditya, lalu dia berbalik dan tidak sengaja menatap Raditya. Tatapan Raditya
terlihat sangat gelap sampai–sampai Anita merasa akan terjatuh ke dalam kehampaan kalau dia terus menatap
Raditya.