Bab 122
Senyuman terlihat di mata Timothy, dia merasa bangga dalam hatinya karena memiliki
bos seperti ini.
Jacob teringat pada bagaimana Samara melindunginya saat kecil, tiba-tiba merasa tidak
heran Samara bisa mengatakan kata-kata seperti itu.
Sedangkan Peter, mengepalkan tangannya lebih erat lagi, hatinya dipenuhi dengan rasa
bersyukur dan tersentuh pada Samara.
Wanita ini tidak melupakan janji yang pernah dibuat padanya!
Pada saat itu, Peter diam-diam bersumpah dalam hatinya, dia, Peter, pasti akan
mengingat kebaikan Samara, dan akan selalu mengikutinya seumur hidup ini….
Samara memelintir ujung rambutnya dan berkata dengan enteng : “Setelah lukaku pulih,
maka hari-hari indahnya Bella akan berakhir.”
Setelah bersusah payah memulangkan Jacob dan yang lainnya, Samara melepas gaun
rumah sakitnya dan merobek perbannya, lalu mulai mengoleskan salep pada lukanya.
Sangat sulit untuk mengoles salep pada lukanya sendiri, dia berusaha untuk waktu yang
lama dan masih belum bisa melakukannya.
“Ssssh—–”
Tidak sengaja menabrak lukanya, Samara segera menarik kekagetannya.
Follow on NovᴇlEnglish.nᴇtDan pada saat itu, pintu kamar dibuka, Asta melangkah masuk kedalam.
Semua kancing pada gaun rumah sakitnya tidak dikancing, dan dia menyibakkannya pada
bahunya, adegan setengah terbuka ini jatuh kedalam tatapan mata Asta.
Dan saat mereka berdua bertatapan, pupil mata mereka sama-sama menyusut.
Samara terkejut, dan segera menarik bajunya yang disibakkan pada bahunya untuk
menutupi dadanya,
Tapi dia lupa pada luka di lengannya, gerakannya yang cepat dan kasar tidak sengaja
mengenai lukanya, dan membuat keningnya berkerut karena kesakitan,
“Kamu kamu berbalik!” Samara meraung putus asa : “Kemana matamu melihat? Cepat
berbalik!”
Asta menelan ludabuya, dan mata tajamnya seketika menjadi dalam.
Sebenarnya apa yang tidak seharusnya dilihat sudah terlihat olehnya saat masuk tadi…..
Namun dia masih menurut perkataan Samara dan membalikkan badannya, dan
menenangkan
hasrat membara dalam tubuhnya.
Mengingat belahan seputih salju yang menggoda itu, Asta merasakan ada pergerakan
dari….binatang buas yang ada didalam hatinya itu, seolah-olah dia siap melepaskan diri
dari sangkar akal sehatnya.
Samara mengigit bibirnya, dan mengancing satu per satu kancing bajunya.
“Asta, kenapa… kenapa kamu tidak mengetuk pintu dulu?”
“Pintunya terbuka.” Suara Asta menjadi serak karena nafsunya : “Saya kira kamu sedang
tidur dan takut membangunkanmu.”
“Kamu…..”
Samara ingin memaki Asta, tapi dia tahu itu tidak ada gunanya, karena dia sudah melihat
apa yang tidak seharusnya dilihat.
Sekarang hal yang paling tepat untuk dilakukan adalah menganggap ini tidak pernah
terjadi.
Samara mengubur dirinya sendiri kedalam selimut, membelakangi Asta, dan menutup
matanya.
Asta melirik punggungnya dan berjalan kearah kamar mandi yang berada didalam kamar
pasien.
Pria itu menghidupkan pancuran dan menyiram dirinya sendiri dengan air dingin untuk
menekan panas dan hasratnya.
Setelah beberapa saat berdiam dibawah pancuran air, tubuh dan pikiran Asta akhirnya
tenang.
Kejadian tadi….
Follow on Novᴇl-Onlinᴇ.cᴏmTidak hanya menyiksa Samara, tapi lebih menyiksa dirinya.
Wanita yang jelas-jelas berada di sisinya, bisa dilihat, bisa disentuh, tapi tidak bisa
dimiliki, ini benar-benar siksaan yang berat bagi Asta.
Setelah Borris meninggalkan rumah sakit, dia dan Samantha bertemu di sebuah kedai teh
berkelas.
Saat Borris baru tiba, Samantha sudah langsung menuangkan secangkir teh dengan tulus
untuknya.
“Kakek, ini….”
“Baik.” Borris melihat Samantha didepannya ini yang berperilaku lembut dan baik, merasa
penggap dalam hatinya sedikit memudar: “Mencari istri itu harus yang sepertimu, saya
benar benar tidak tahu apa yang dipikirkan oleh anak itu.”
Mendengar itu, Samantha sekalian memanfaatkan situasi.
Kakek, saya juga bersedia menjadi cucu menantumu….” Samantha menurunkan matanya,
dan wajah kecilnya terlihat iba : “Saya sudah berusaha keras untuk memenangkan hati
Asta selama beberapa tahun ini, tapi hasilnya tetap nihil.”
Borris yang baru meneguk teh panas kembali menghela nafas berat.
“Wanita sebaikmu, Asta benar-benar tidak punya mata!”
“Dulu kalau bukan kamu yang menyelamatkan nyawaku, saya yang sudah tua dan rentan
ini mungkin sudah kembali berpulang!”