Menantu Dewa Obat
Bab 788
Axel tercengang.
Dia sendiri sudah cukup tidak ada aturan kalau berbicara namun tak disangka ternyata ada orang yang lebih tidak
ada aturan lagi dibandingkan dirinya.
“Spencer, kau… kau jangan keterlaluan!”
“Mobil itu dikemudikan oleh putramu dan kecelakaan itu terjadi juga karena ulah putramu sendiri.”
“Atas dasar apa kau meminta keluargaku yang bertanggung jawab?” ujar Axel dengan marah.
Dengan dingin Spencer berkata: “Atas dasar kau meminjamkan mobil ini kepada puttaku!”
“Kau sudah tahu bahwa dia tidak punya SIM dan kamu masih meminjamkan mobil itu kepadanya. Kau memang
sengaja ingin menyakitinya!”
“Meski masalah ini diproses hingga ke pengadilan sekalipun tetap saja itu salahmu karena kau telah meminjamkan
mobil ini kepada seseorang yang tak punya SIM!”
Axel gemetar karena marah. Dia meraih cangkir teh di atas meja dan membantingnya ke lantai. “Persetan, apa
maksudmu sekarang? Berani – beraninya datang ke rumahku dan berbicara dengan tanpa aturan!”
Spencer sama sekali tidak mau mengalah. Dia bangkit berdiri: “Apa? Kau ingin bersikap kasar sekarang?”
“Biar aku beritahu yah, kalau sampai terjadi sesuatu dengan putraku, entah dia masuk penjara atau masalah
lainnya, aku pasti akan membuat perhitungan denganmu!”
Follow on NovᴇlEnglish.nᴇtAlina buru buru berkata: “Aduhh, kalian ini jangan bertengkar dulu.”
“Sekarang yang harus kita pikirkan itu bagaimana cara menangani masalah ini. Untuk apa sesama keluarga kita
bertengkar? Kalau sampai ketahuan orang luar bukannya akan malu-maluin?”
Axel sangat marah: “Diam kau!”
“Kalau bukan gara ·
–
gara kau yang bersikeras ingin meminjamkan mobil itu kepada manusia sampah itu, apa mungkin akan terjadi hal
seperti ini sekarang?”
“Semua ini gara-gara kau. Kau sendiri yang selesaikan semuanya!”
Setelah selesai berbicara lalu Axel pergi dengan marah.
Spencer berteriak dengan marah dari belakang: “Siapa yang kau sebut dengan manusia sampah?”
“Kalau berani kau katakan sekali lagi!”
Anissa buru-buru meraihnya: “Aduhh, sudah, sudah, jangan emosi dan bertengkar lagi, oke?”
“Ayo, mari, mari duduk dulu. Kita bicarakan baik
–
baik bagaimana menyelesaikan masalah ini!”
Dengan marah Spencer duduk. Alina menyeka air matanya: “Aku… aku juga tidak tahu akan menjadi sepertiini.”
“Waktu itu Jay yang bilang sendiri bahwa dia akan membiarkan pacarnya yang mengemudikan mobilnya, oleh
karena itu aku setuju untuk meminjamkan mobil itu kepadanya.”
“Siapa yang bisa tahu akan menjadi seperti ini?”
Dengan marah Spencer berkata: “Memangnya kau tidak tahu kalau anak-anak tidak bisa mengendalikan dirinya
sendiri.”
“Kau ini yang seorang dewasa apa tidak punya otak dalam memutuskan sesuatu?”
“Kau menuruti saja apapun yang dia inginkan?”
Nara yang duduk di sebelahnya merasa tidak senang: “Paman ketiga, apa kau bisa berbicara dengan lebih sopan?”
“Mamaku meminjamkan mobil itu kepadanya juga karena dia menyayangi anak itu.”
“Bagai… bagaimana kau bisa berbicara seperti itu?”
Dengan marah Spencer berkata, “Kenapa? Memangnya ucapan aku ada yang salah?”
“Dia percaya saja dengan apa yang orang lain katakan. Bukankah itu namanya tidak punya otak?”
–
“Jayden masih anak – anak. Bagaimana kau bisa menuruti keinginannya begitu saja?”
Nara terdiam.
Pada saat ini, Reva mendekat dan berkata dengan ringan, “Paman ketiga, aku rasa kau tidak perlu terlalu panik
dulu.”
“Jayden masih anak- anak. Di Jakarta ini, anak
–
Follow on Novᴇl-Onlinᴇ.cᴏm
anak yang masih dibawah umur sebenarnya tidak perlu
menanggung terlalu banyak tanggung jawab hukum.”
Spencer sangat marah: “Kentut!””Jayden sudah berusia dua puluh tahun, bagaimana bisa dikatakan bahwa dia
masih dibawah umur?”
Reva juga langsung membalasnya: “Kau juga tahu bahwa dia sudah berusia dua puluh tahun!”
“Dua puluh tahun masih dibilang anak anak?”
“Apa otakmu sudah dimakan kucing?”
“Mereka semua sudah dewasa. Mengapa kau masih bilang bahwa mereka tidak punya kendali diri?”
“Apa dia adalah anak yang menderita demensia?”
Spencer yang dimarahi itu membuat Axel menjulurkan kepalanya dari dalam kamar: “Reva, bagus sekali
ucapanmu!”
“Kerja bagus!”
“Hahaha, anak yang menderita demensia. Sangat menarik…”
Axel menatap Reva dengan tatapan kagum. Dia tidak pernah merasa bahwa Reva sebegitu gantengnya selama ini.
Spencer sangat marah: “Reva, apa maksudmu?”
“Meski putraku sudah berusia dua puluh tahun tetapi tetap saja dia masih merupakan anak-anak kalau
dibandingkan dengan kalian.”
“Bagai… bagaimana kau bisa mengatakannya seperti itu?”
“Dan juga, apa seperti ini sikapmu terhadap orang yang lebih tua?”
Dengan perlahan Reva berkata, “Kami hanya memperlakukan kalian seperti bagaimana kalian memperlakukan
kami saja, apa tidak benar?”
Axel langsung bertepuk tangan: “Aku rasa itu sangat benar!”