Ketika itu, Alin, yang memeluk lengan Vivin bereaksi kaget. Dan tiba-tiba tersenyum. “Oh,
benar! Aku hampir lupa kalau Bian dulu kuliah di universitas yang sama denganmu. Dia
juga di departemen jurnalisme, jadi dia seniormu.” “Ya, aku mengenalnya.” Sembari
menahan kegetiran di hatinya, Vivin berpura-pura tenang. “Hanya saja aku sudah lama
tidak melihatnya.” Ketika melihat sikap acuh Vivin, mata Fabian menyipit. “Alin, bisakah
aku bicara dengan kakakmu sebentar?” Sorot mata Alin berubah. Namun, dia masih
berusaha bersikap lembut. “Oke, aku juga akan ke dapur, barangkali di sana butuh
bantuan.” Saat itu, hanya Vivin dan Fabian yang tersisa di ruang tamu. “Ada apa, Vivin?
Kenapa kau tidak bersikap layaknya saudara ipar?” cibir Fabian sambil menatap Vivin.
“Sikap seperti apa yang kau inginkan? memanggilmu saudara iparku?” Vivin menatap
Fabian dengan dingin. “Atau mungkin, memanggilmu cucu keluarga Normando?” Ekspresi
Fabian seketika berubah. Dia benci ketika orang lain memanggilnya seperti itu. Bahkan,
dia lebih benci lagi ketika orang lain mendekat hanya karena latar belakang keluarganya.
Karenanya, dia menolak tawaran ayahnya untuk kuliah di Inggris. Sebaliknya dia memilih
kuliah di kampus Gandratama di kota yang tak jauh dari tempat tinggalnya dan pura-pura
menjadi orang miskin. Saat itulah dia bertemu Vivin. Saat pertama kali bertemu dengan
Vivin, dia sangat menghargainya karena dia mencintai Vivin sebagai “Fabian”, bukan
Follow on NovᴇlEnglish.nᴇtsebagai “cucu keluarga Normando”. Namun, kenyataan pahit menamparnya. Vivin
mencampakkannya, seolah menganggapnya sebagai “pria bangkrut”. Demi uang, dia
bahkan… Ketika Fabian teringat bayangan masa lalunya, hatinya merasa teriris. Dia
meraih pergelangan tangan Vivin dan mencengkeramnya erat-erat sembari mengejek,
“Kini kau tahu, aku bukan hanya Pemimpin Redaksi Majalah Glamour tapi juga cucu
keluarga Normando, apa kau menyesal? aku bisa memberimu kesempatan untuk menebus
semua kesalahan … ” Vivin mengangkat kepalanya perlahan dan menatap kemarahan
Fabian. Sebelum Vivin menjawab, dia melanjutkan dengan kejam, “Karena kau mau
melakukan apa pun demi uang. Bagaimana jika kau jadi selingkuhanku saja?” Mata Vivin
membelalak kaget, tidak pernah terbayangkan Fabian bisa berucap seperti itu. “Hah! Kau
tergiur?” Ejekan Fabian semakin serius. “Tentu saja itu tidak mengagetkan. Meski kau
sudah menikah, kau juga masih melakukan hal tidak pantas seperti itu, kan? Daripada
dengan pria tua yang menjijikkan, lebih baik denganku, kan? Jangan khawatir. Aku dari
keluarga Normando. Aku bisa berikan apapun yang kau mau.” Vivin tiba-tiba diliputi rasa
jijik. Dia tidak pernah mengira, Fabian, yang dulu sangat dia cintai, akan membuatnya jijik.
“Oh, iya. Vivin, Ibu bilang dia mau minum anggur. Maukah kau menemaniku?” Untungnya,
Alin segera muncul, merampas keinginan Vivin untuk menampar wajah Fabian dengan
kasar. “Oke, aku akan pergi denganmu.” Menatapnya sekilas, pria itu cepat kembali
bersikap lembut, Vivin mengikuti Alin menuju gudang anggur. “Sebenarnya, Bian tidak
suka minum anggur merah.” Ketika sedang mengambil anggur, tiba-tiba Alin berucap,
“Haha! Banyak kebiasaannya yang tidak seperti orang kaya.” Karena tidak tahu kenapa
tiba-tiba Alin membahasnya, Vivin hanya mengiyakan. “Jadi, wajar jika kau tidak
mengenalinya sebagai cucu dari keluarga Normando,” kata Alin. Ekspresi Vivin tiba-tiba
menegang. Kepalanya tersentak, saat dia melihat Alin yang tersenyum riang. “Aku tidak
peduli seberapa besar kau menyesalinya, yang jelas sekarang Bian sudah menjadi
milikku.” Vivin tercenung. Alin tahu masa laluku dengan Fabian? “Kau pasti penasaran
bagaimana aku bisa tahu.” Senyumannya semakin centil. “Tentu saja, Bian sendiri yang
memberitahuku.” Vivin merasa kegelisahan menjalari tubuhnya. Fabian menceritakan
masa lalu kita kepada Alin. Apa baginya semua itu hanya lelucon? “Ya? Kelihatannya kau
tidak senang, Vivin.” Sambil memegang botol anggur, Alin beringsut mendekatinya. Tidak
bisa menampiknya lagi, ekspresi Vivin seketika dingin. “Sebenarnya apa yang ingin kau
katakan?” Saat itulah senyum munafik memudar dari wajah Alin. Kilatan permusuhan
muncul di matanya saat dia memperingatkan, “Vivin, kau tahu apa yang ingin kukatakan.
Aku tau kau bekerja di perusahaan yang sama dengan Bian. Tapi kuperingatkan kau,
jangan sekali-kali mendambakan sesuatu yang bukan milikmu!” Menatap tatapan
ancaman Alin, Vivin sadar bahwa semua ini sungguh konyol. “Jangan khawatir.” Vivin
Follow on Novᴇl-Onlinᴇ.cᴏm
menunjukkan cincin yang melingkar di jarinya. “Aku sudah menikah dan sama sekali tidak
tertarik dengan tunanganmu.” Ketika Alin melihatnya, dia tertegun sejenak. Lalu tertawa
terbahak-bahak. “Kau sudah menikah? Kenapa kau tidak memberitahuku sebelumnya?”
Dia melihat lebih dekat pada cincinnya dan tertawa lebih keras. “Tampaknya saudara
iparku adalah orang yang jujur. Dia pasti sangat baik padamu, kan?” Bagi Alin, “orang
jujur” identik dengan orang miskin. Tanpa menyangkalnya, Vivin menjawabnya dingin,
“Kau tidak khawatir lagi, kan?” “Aku tidak pernah khawatir.” Alin pura-pura terlihat polos
dan tidak berbahaya lagi. Mengedipkan matanya, dia berkata, “Lagipula, setelah apa yang
terjadi dua tahun lalu… Bahkan jika kau ingin berdamai dengan Bian, dia pasti tidak mau,
kan?” Tubuh Vivin bergidik saat matanya membelalak tajam menatap Alin. Seringai Alin
semakin lebar. Dia tiba-tiba mendekat dan merendahkan suaranya. “Lagi pula, siapa yang
mau menerima wanita yang sudah dirusak lelaki tua bau?” Kata-kata Alin seperti belati
yang mencabik hati Vivin, dia menjadi sangat tertekan. Tubuhnya mulai bergetar tak
terkendali, lalu berteriak, “Cukup! Berhenti berbicara…” Namun, Alin malah mendekat ke
telinganya. Dengan nada mengejek, dia mencemooh, “Apa suamimu sudah tahu kalau
keperawananmu dicuri lelaki tua, dua tahun lalu? Dan… hanya seharga sepuluh ribu…”
Cukup!” pekik Vivin tidak tahan lagi. Dia mendorong paksa Alin ke arah samping. “Argh!”
Alin jatuh ke lantai hingga botol anggur yang dipegangnya hancur berkeping-keping.
“Alin!”