Bab 954
Anita tak bisa berkata–kata untuk sesaat lamanya. Tampaknya Ani berasumsi bahwa Raditya dan saya tidak sering
bertemu. Namun, siapa yang menyangka bahwa kami hidup bersama slang dan malam selama dua bulan? “Saya –
“Dia pun duduk.
Namun, segera setelah mengucapkan satu kata, Ani menggenggam tangan Anita dan bertanya lagi, “Bagaimana
dia? Apakah dia orang yang mudah dijadikan teman? Apakah dia laki–laki yang serius? Dia tahu bahwa kita adalah
sepupu, bukan? Apakah dia menjagamu dengan baik?”
Hati Anita tiba–tiba mengencang. Melihat keingintahuan dalam sorot mata Ani, Anita tak bisa berkata–kata.
Setelah itu, ponsel Ani berdering: dia mengangkatnya dan memandangi layarnya. “Dari Kakek. Dia mungkin
menelepon saya agar segera makan malam bersama,” katanya sambil menyingkir untuk menjawab panggilan
telepon. “Hai, Kakek! Kami segera datang,” katanya. Kemudian, dia menutup ponsel dan berkata pada Anita,
“Anita, pakai jaketmu. Tiba waktunya bagi kita untuk makan malam. Setiap orang ingin bertemu denganmu.”
Anita mengangguk sebelum berdiri untuk mengambil jaketnya. Namun, setelah masuk ke kamar pakaian, dia
Follow on NovᴇlEnglish.nᴇtbersandar pada dinding lagi dengan lelah dan menghembuskan napas. Akhirnya, dia meraih jaket dan pergi
bersama Ani.
Darwanti dan Guntur sudah menunggunya. Ketika Anita muncul, Darwanti menghampiri dan
memandanginya. Dia berkata dengan terkejut, “Mengapa kamu berpakaian sederhana sekali? Kamu pun tidak
merias wajahmu, tidak mengenakan anting–anting atau kalung.”
Anita menggeleng sambil tersenyum. “Tak apa, Ibu. Kita hanya makan malam bersama keluarga, bukan?”
Darwanti tidak punya pilihan lain selain berhenti mendesaknya. Sesaat kemudian, pelayan perempuan yang telah
mengumpulkan pakaian kotor datang menghampiri dan berkata, “Nona Anita, benda ini jatuh dari pakaianmu.” Dia
memegang batu kristal merah jambu di tangannya.
Hati Anita terusik. Ketika dia menerima kristal itu, Ani imenyorongkan tubuhnya untuk melihatnya, dan bertanya,
“Apa itu, Anita? Batu kristal?”
“Ya. Saya mendapatkannya di pegunungan.” Anita menyimpan kristal itu di dalam tasnya.
“Cantik sekali. Akankah kamu jadikan liontin untuk kalung atau gelang?” Darwanti bertanya sambil
tersenyum.
“Sa–saya belum memutuskan untuk dijadikan apa.” Anita teringat bagaimana dia telah berkata pada Raditya
bahwa dia ingin membuat kristal itu menjadi dua liontin untuk masing–masing mereka. Namun, saat ini, dia tidak
ingin membuat kristal itu menjadi apapun. Saya hanya akan memperlakukan benda itu sebagai kenang-
kenangan.
Anita dan Ani duduk di mobil, tetapi Ani tidak bisa berhenti berbicara tentang subjek itu lagi. Dia memberondong
Anita dengan pertanyaan, “Anita, ceritakan pada saya tentang Raditya. Apakah dia orang
Anita mengangguk. “Di–Dia mudah diajak berteman, tetapi terlihat sangat sibuk. Saya jarang melihatnya, jadi tidak
tahu banyak tentangnya.”
“Ya, bisa dimengerti. Dia pergi terburu–buru sebelum makan malam pertunangan itu selesai.” Raditya adalah
seorang yang gila kerja di mata pikiran Ani.
“Ani, kapan kamu akan menikah dengannya? Apakah tanggalnya sudah ditentukan?” Anita bertanya ragu.
Wajah Ani memerah. Dia menjawab sambil malu–malu, “Masih terlalu pagi untuk sampai ke tahap itu! Kami baru
bertemu sekali. Tetapi Kakek berkata bahwa kakek Raditya mengharapkan kami menikah segera karena dia ingin
cepat–cepat menimang buyut.”
Follow on Novᴇl-Onlinᴇ.cᴏmAnita menatap Ani dengan segala emosi di dalam dirinya. Perasaannya campur baur, tetapi dia juga berbahagia
karena tidak menghancurkan kebahagiaan sepupunya. “Selamat yaa, Ani.”
“Terima kasih, Anita. Ngomong–ngomong, apakah Raditya sempat menyebut nama saya saat bertemu denganmu?
Saya mengiriminya begitu banyak pesan, tetapi tidak satupun dijawab olehnya. Saya sempat mengira nomor
ponselnya yang ada pada saya salah,” ujar Ani dengan ekspresi suram.
Terkejut, Anita menatapnya. “Dia tidak menjawab satupun pesan yang kamu kirim?”
Ani mengeluh kecewa. “Benar! Saya mengiriminya hampir 50 pesan. Saya menduga apakah dia sibuk sekali
sehingga tidak punya waktu untuk membalas pesan saya.
Anita tiba–tiba marah. Omong kosong dia begitu sibuk! Dia menghabiskan waktu dengan membaca selama di
sana. Namun, bagaimana bisa dia begitu kasar tidak membalas satupun pesan Ani? “Bagaimana bisa dia tega
melakukan hal ini padamu?” katanya sambil marah.
Ani menenangkannya, sambil berkata, “Tak apa, Anita. Saya tahu dia sedang sibuk; mungkin dia sedang dibebani
begitu banyak pekerjaan. Mohon jangan salahkan dia.”
Dada Anita naik turun. Dia benar–benar ingin bercerita pada Ani bahwa Raditya sama sekali tidak sibuk, dan dia
punya begitu banyak waktu luang dan dengan sengaja mengabaikan semua pesan yang dikirimnya.