Ruang Untukmu
Bab 878
Di ruang rapat, Anita menangis saat mendengar suara orang tuanya melalui telepon, dan dia tidak bisa berhenti
terisak. “Ibu, Ayah…”
“Anita, sepertinya situasi di sini lebih parah daripada yang kita bayangkan. Kamu harus patuh pada Pak Laksmana
dan tinggal di markas di mana mereka bisa menjagamu tetap aman, oke? Kita tidak ingin kamu celaka lagi,” ucap
Guntur di seberang telepon, terdengar serius – lebih serius dari biasanya.
–
“Namun saya tidak ingin kalian berdua terperangkap dalam bahaya karena saya. Ini salah saya. Sayalah yang
menyebabkan semua ini. Maafkan saya, Ibu.” Dia terus merasa bersalah.
Darwanti menenangkannya dengan lembut, “Anita, ibu baik–baik saja. Ibu tahu kamu mengkhawatirkan keadaan
ibu, tetapi sekarang sudah aman terkendali, dan ibu akan baik–baik saja. Kamu satu–satunya putri kami, dan Ibu
dan Ayah tidak mau sesuatu terjadi padamu. Kamu mengerti, bukan?”
“Seluruh anggota keluarga akan dibawa ke tempat yang aman. Kita akan bertemu saat semua ini sudah selesai.”
Follow on NovᴇlEnglish.nᴇtGuntur berjanji.
“Benarkah? Ibu dan Ayah akan pergi ke tempat yang aman juga? Berarti kalian berdua juga akan datang ke markas
ini?” tanya Anita, yang sangat ingin berkumpul kembali dengan orang tuanya secepat mungkin.
“Tidak, kami sudah diatur untuk berdiam di tempat lain. Menjagamu adalah hal paling utama, dan kamu harus
tetap berada di mana Pak Laksmana bisa mengawasimu. Patuhi kata–katanya dan jangan menyusahkannya,” ucap
Guntur.
Kekecewaan melintas di mata Anita saat mendengar kedua orang tuanya tidak akan tinggal bersamanya, tetapi dia
mengangguk dan berkata, “Baik. Saya berjanji akan menjaga sikap.”
Guntur hanya bergumam. “Bagus, kalau begitu. Kita tutup teleponnya sekarang, jangan mengontak kami kecuali
ada sesuatu yang mendesak. Kita tidak boleh mengambil terlalu banyak risiko.” Setelah itu dia menutup
teleponnya, menyadari bahwa organisasi penjahat yang mengejar Anita dapat melakukan segala cara untuk
meretas semua sistem komunikasi. Dia tidak mau mengambil risiko di mana mereka bisa melacak keberadaan
putrinya.
Kemudian Anita mengembalikan ponsel itu ke Teddy. Dia menghela napas lalu mendongak, dan mendapati empat
pasang mata memandanginya dengan cemas. Dia merasakan kehangatan dalam hatinya sambil menyunggingkan
senyum tipis kepada mereka, “Saya sudah merasa tenang sekarang. Terima kasih atas perhatian kalian semua.”
“Nona Maldino, saya harap kamu tidak akan menyalahkan pemimpin kami. Dia hanya menjalankan tugasnya untuk
melindungimu,” ucap Teddy, membela Raditya.
Jodi juga ikut memberikan kesan baik untuk membela Raditya. “Jangan bersikap terlalu keras kepadanya, Nona
Maldino. Saya tahu dia terkadang kasar dan tidak berperasaan, tetapi dia sangat setia dan penuh perhatian
daripada siapapun.”
“Dan tolong bekerjasama dengan kami – Radit terutama, sehingga kami bisa melakukan tugas kami,” tambah
Wilmar.
Mendengar ucapan mereka, Anita teringat akan sikapnya terhadap Raditya sebelumnya dan tiba- tiba tersipu malu.
Dia menatap ujung kakinya dan berkata, “Saya tahu sikap saya sudah keterlaluan. Mulai saat ini saya akan
berusaha membuat segalanya lebih mudah untuk kalian.”
“Tidak apa–apa, Nona Maldino. Bagaimanapun juga, kamu tetap manusia. Kamu pasti sangat menyayangi
keluargamu sampai mengkhawatirkan ibumu,” Sandro menghiburnya.
“Iya. Maksud saya, siapa yang tidak akan melepaskan akal sehatnya demi menyelamatkan keluarganya? Jangan
menyalahkan dirimu. Saya yakin Radit sudah melupakan hal itu. Orang itu memiliki hati yang lebih luas daripada
Follow on Novᴇl-Onlinᴇ.cᴏmsamudera, dan dia tidak akan menentangmu,” ucap Teddy dengan riang.
“Begitukah? Menurutmu?” Anita menatap mereka dengan penuh harap, sambil berdoa ucapan mereka adalah
benar dan Raditya akan memaafkannya karena sudah bertindak berlebihan sebelumnya.
Tepat ketika itu, pintu ruang rapat terbuka, dan Raditya pun masuk. Dia sudah berdiri di pintu saat melihat Anita
masuk, dan mendengar dengan jelas semua yang mereka katakan.
Langkah kakinya membuat Anita menoleh ke arahnya. Saat merasakan kedatangannya, Anita langsung menunduk
dan berkata dengan penuh penyesalan, “Maafkan sikap saya sebelumnya.”
“Tidak masalah,” jawabnya datar, seakan sudah melupakan kejadian itu.
Sikapnya ini memperburuk perasaan bersalahnya. Entah mengapa, sikap acuh tak acuhnya membuat Anita
semakin tertekan.
Setelah itu, Raditya berjalan melewatinya dan berhenti di depan Wilmar, kemudian sedikit membungkuk agar bisa
berbisik kepadanya. Wajahnya dari samping terlihat sempurna. Anita hanya bisa melihat kilatan dalam matanya,
yang berbingkai bulu mata yang panjang dan sedikit lentik. Dia terlihat tenang dan bersikap seperti tidak ada yang
dapat mengusiknya.
Anita baru menyadari bahwa ada sesuatu dalam dirinya yang dengan mudah menarik perhatian setiap ruang yang
dia masuki. Selain itu, tak ada cela sama sekali dalam pekerjaannya. Justru sebaliknya, pekerjaannya sangat mulia,
dan kesadaran ini membuatnya semakin tersipu malu mengingat sikapnya tadi yang tidak masuk akal dan
keterlaluan.
“Saya akan kembali kamar,” ucap Anita pelan sambil berjalan meninggalkan ruang itu.