Ruang Untukmu
Bab 873
Anita berdiri di tanah yang lebih tinggi, membuatnya setengah kepala lebih tinggi daripada Raditya dan bisa
menatapnya dari sudut yang belum pernah dia lihat sebelummya. Dia mengamati tulang alisnya yang tegas dan
garis hidungnya yang tegak. Pandangan Raditya ke bawah karena sedang membantu menempelkan plester pada
jari Anita, dan bulu matanya yang hitam menyembunyikan sorot matanya yang keras bagai baja. Dia tampak
hampir … lembut, terlembut yang pernah dia lihat.
Terkejut dengan perbedaan kontras perilakunya saat ini dan sikap dinginnya sehari–hari, Anita hanya bisa melongo
tidak percaya. Tak lama kemudian, dia tersipu malu dan berkata dengan nada menyesal, “Mohon maaf atas
tindakan saya tadi. Saya harap saya tidak membuatmu marah.” Dia sangat menyesal atas sikapnya yang begitu
terus–terang.
“Jangan pernah lakukan lagi,” ucap Raditya sambil menatapnya, matanya seperti dua kolam yang jernih. Dia
tampak tidak terusik oleh kecupan itu seakan tidak berarti apa–apa baginya, seperti sepotong kain di mantelnya.
Kekecewaan terlintas di mata Anita sambil menarik jarinya. Setelah itu, dia menarik napas dan berjanji, “Saya tidak
akan melakukannya lagi.”
Raditya menangkap kemuraman di wajahnya untuk sesaat, kemudian menyilangkan tas punggungnya ke
Follow on NovᴇlEnglish.nᴇtpundaknya dan berkata, “Kita sampai di sini saja dan kembali ke markas.”
Anita tidak tinggi hati sehingga tak sadar kemampuan diri sendiri dan tahu pasti tidak akan bisa mencapai puncak.
Dia pun mengangguk dan berkata patuh, “Oke.”
Mak,a Anita mengambil langkah pertama untuk turun dari tanah yang lebih tinggi, tetapi kakinya mendarat di tanah
yang goyang yang tidak terbenam kokoh ke tanah.
Dia agak terhuyung, tetapi sebelum terjatuh, sebuah tangan yang besar meraih pundaknya dan menegakkan
tubuhnya.
Anita menatap laki–laki yang membantunya untuk tidak terjatuh dari lereng, tetapi merasa kalah. Apakah ciuman
saya tidak berarti apa–apa baginya? Apakah dia sama sekali tidak merasakan apa–apa?
Raditya melepas pegangannya dari pundak Anita, tetapi menawarkan tangannya, “Ayo, saya akan menggenggam
tanganmu sampai kita tiba di kaki gunung.”
Anita menatap tangannya, dan pikirannya berkeliaran ke mana–mana untuk beberapa detik. Raditya selalu ada
setiap kali dia membutuhkan bantuan, memastikan dirinya tidak terluka. Laki- laki ini seperti tidak menyadari
betapa perilakunya ini bisa membuat Anita salah paham, dan membawanya untuk beranggapan bahwa dia
menyukai dirinya, sementara kenyataannya memperhatikan dan menjaga dirinya ini tidak lain adalah sekadar
kewajiban baginya–tidak menyangkut pribadi.
“Tidak, terima kasih,” ucap Anita, mengecewakannya sambil tersenyum dan dengan nada sopan.
Dengan langkah panjang, Anita menyusuri jalan yang tadi dilalui saat pendakian. Dari belakang, tubuhnya yang
ramping terlihat seperti dapat mengangkat beban dunia.
Raditya menatap sosoknya dari belakang sesaat lamanya sebelum mengikutinya, yang berjalan
dengan langkah ringan, dan kecepatan sedang.
Mendaki gunung berbatu seperti ini relatif lebih mudah daripada menuruninya. Pada saat tertentu, Anita bisa saja
menginjak batu yang goyang dan tergelincir, khususnya karena pepohonan di sini yang bisa dia jadikan penyokong
tidak lebih baik daripada pohon muda.
Raditya berjalan mendahuluinya, dan setiap kali ada permukaan tanah yang tidak rata atau lereng yang curam, dia
akan berada dekat Anita, siap menangkapnya apabila dia jatuh.
Saat ini, Anita sedang berpegangan pada pohon yang lebih kecil, berharap pohon itu bisa menopang berat
tubuhnya sampai kakinya menapak pada batu yang kokoh yang bisa dipijaknya. Namun, rupanya pohon itu masih
terlalu muda dan lemah sehingga dia malah mencabutnya, membuatnya terjungkal ke belakang saat tergelincir.
Dia menjerit tepat ketika Raditya menangkapnya, mencegahnya dari membentur tanah. Dia menarik tubuh Anita
dan memeluknya sementara tangannya secara instink melingkar di pinggangnya.
Tubuh Anita menekan dada Raditya, masih terkejut karena jatuh dan jantungnya berdebar ketakutan di balik
struktur tulang iganya. Merasa lelah karena pendakian, dia pun menyerodok dadanya yang bidang dan kokoh, dan
menutup matanya menikmati istirahat di tengah latihan
Follow on Novᴇl-Onlinᴇ.cᴏmini.
Raditya tidak melepaskan pelukannya tetapi semata memperhatikan saat Anita memejamkan mata dan bersandar
di dadanya. Pipinya merona, dan ada bulir–bulir keringat di kening yang berkilau di bawah sinar matahari. Raditya
melunak saat itu dan membiarkan perempuan ini bersandar padanya, dan mendekapnya.
Merasakan sikapnya yang menenangkan ini, Anita tersenyum.
Di sekeliling mereka, angin pegunungan bersiul–siul menerobos pepohonan, matahari menyinari. gunung,
menyelimuti segala sesuatu dengan berkas cahaya keemasan dan lembut. Untuk beberapa saat, semuanya
terdiam begitu indah.
Anita bisa mendengar suara jantung Raditya yang tegas dan kuat. Entah mengapa, debar jantung Anita juga
semakin cepat, seakan ingin menyamai kecepatannya.
“Pak Laksmana, apakah kamu selalu berdedikasi pada setiap orang yang kamu ditugasi untuk melindunginya?
Maksud saya adalah, apabila saya adalah gadis lain, apakah kamu juga akan bersikap seperti ini kepadanya?”
tanyanya pelan sambil menengadah dan menatapnya.
Raditya memandangi matanya, sorot matanya membara dan gelap.
Anita berkedip, menatap matanya dan bertanya, “Akankah kamu juga mengizinkan dia menggunakan kamar mandi
dan membiarkannya keluar masuk kamarmu sesuka hatinya? Menggendongnya apabila dia terkilir? Dan langsung
bergegas menolongnya dan menghalau setiap bahaya darinya kapanpun? Apabila gadis itu memelukmu sekarang,
apakah kamu akan memeluknya lebih erat lagi?”