Bab 688
Saat Gilang mendengar perkataan Tasya, wajahnya yang marah seketika berubah panik. Tapi, dia tetap berpura–
pura tenang sambil berkata, “Bu Tasya, Anda setidaknya harus memberikan bukti kalau Anda mau menuduh saya
dengan tindak kriminal seperti itu.”
“Bukti? Saat saya mengumpulkan buktinya, saat itu juga saya akan bertemu Anda di pengadilan. Apa Anda yakin
ingin membiarkan masalah ini berakhir seperti itu?” tanya Tasya padanya sambil menyilangkan tangan
di dada.
Hari ini, Tasya mengenakan sebuah blus putih dan rok dengan model bagian pinggang yang tinggi. Dalam balutan
pakaian seperti itu, dia terlihat ramping dan mempesona sekaligus memancarkan aura penguasa di saat yang
bersamaan.
“Anda harus tahu kalau tim pengacara dari Perusahaan Prapanca tidak akan mengampuni siapapun di pengadilan.”
Tasya menatap Gilang tajam dengan bola matanya yang indah.
Saat Gilang mendengar perkataannya, amarah dalam matanya tampak mereda. Saat ini, dia benar–benar
ketakutan. Makanya, dia langsung tersenyum dan memohon, “Saya mohon, Bu Tasya. S–saya menerima
mutasi ini.”
“Setelah saya pertimbangkan lagi, lebih baik Anda mengundurkan diri saja!” Tasya tidak mau memberikan Gilang
kesempatan untuk terus bermalas–malasan di perusahaan.
Gilang adalah laki–laki yang penuh semangat dan tidak sabaran. Makanya, dia mengepalkan tangannya saat dia
Follow on NovᴇlEnglish.nᴇtmendengar Tasya memintanya untuk mengundurkan diri. Sambil menatap Tasya penuh amarah, dia meledak.
“Kamu—”
Tapi, belum sempat Gilang menyelesaikan perkataannya, pintu di belakangnya terbuka. Tak lama, dua orang
pengawal berpakaian rapi tiba–tiba masuk. Masing–masing dari mereka berdiri di sisi kiri dan kanan Gilang, mereka
menatapnya tajam seolah menyuruhnya untuk tidak bertindak gegabah.
Sekali lagi, dia menenangkan amarahnya. Lalu, dia mencibir. “Baiklah! Saya mengundurkan diri.”
Setelah Gilang pergi, para pengawal itu keluar dari ruangan Tasya dan menjaga pintu masuk kantornya.
Tak lama kemudian, Tasya menerima sebuah telepon dari nomor khusus kantornya. Dia mengangkatnya.
“Halo?”
“Saya dengar kamu memecat beberapa petinggi eksekutif di kantor.” Suara Elan yang lirih terdengar di ujung
telepon.
“Yah, kamu tahu kalau saya tidak bisa membiarkannya terus menerus merugikan Jewelia. Saya tidak akan
membiarkan orang seperti itu berada di perusahaan,” jelas Tasya. Saat dia mengatakan hal itu, ada nada tegas
dalam suaranya.
“Saya akan mendukung apapun yang dilakukan istri saya, tapi jangan lupa untuk memberitahu saya saat kamu
sedang dalam masalah nanti.” ujar Elan memperingatkan Tasya. Sebelumnya dia menerima telepon SOS tanda
bahaya dari Maya. Menurut Maya, dia bilang kalau ada seorang manajer laki–laki yang memaksa masuk ke kantor
Tasya. Karena Elan sedang ada di luar, dia hanya bisa meminta pengawalnya untuk melindungi Tasya dahulu.
Secara mental, Tasya tidak mudah takut pada orang lain, tidak seperti Elan. Mungkin ini ada hubungannya dengan
kerasnya kehidupan masa mudanya. Mendengar perkataan Elan, dia tersenyum dan berkata, “Maaf sudah
membuatmu khawatir.”
“Keselamatan keluarga selalu jadi nomor satu bagi saya.”
Ketika Tasya mendengar nada serius Elan, dia juga menganggap hal ini sebagai hal yang lebih serius. “Saya, janji
padamu kalau saya akan menjaga diri.”
“Jangan lupa meminta tolong Adriana untuk selalu menemanimu,” ujar Elan.
Kebetulan sekali, hari ini adalah hari saat Adriana cuti. Jadi, dia tidak ada di sisi Tasya. Tapi, Tasya memutuskan
untuk merahasiakan hal ini setelah dia tahu betapa khawatirnya Elan.
“Tentu, saya mengerti. Oh iya, bagaimana acara konferensi keuangannya?”
“Saya bertemu beberapa orang tadi, jadi sepertinya saya akan pulang sedikit terlambat.”
Memahami situasi Elan saat ini, Tasya berkata, “Baiklah! Saya akan menidurkan Jodi dulu.”
Saat itu, ada suara ketukan di pintu. Jadi, Tasya hanya bisa berkata, “Ya sudah, saya tutup dulu. Sampai jumpa!”
Elan bergumam membalas Tasya.
Setelah menutup telepon, Maya masuk memberikan sebuah dokumen penting. Karena Jewelia baru saja memecat
karyawan tak berguna dalam satu hari dan menata ulang suasana kantor, orang–orang yang tidak terima dengan
keputusan itu mulai meradang.
Sementara itu, acara konferensi keuangan diadakan di sebuah aula megah.
Berdiri di tengah–tengah beberapa kenalan orang asing di sana, Elan sedang mendiskusikan masa depan arah
pertumbuhan dan perkembangan ekonomi bersama mereka.
Follow on Novᴇl-Onlinᴇ.cᴏmSaat itu, sesosok wanita seksi mendekati mereka. Dengan sebuah kartu izin masuk karyawan tergantung di
lehernya dan dengan pakaian yang memikat, Luna berjalan ke arah Elan sambil tersenyum.
“Elan, kebetulan sekali,” sapa Luna.
Sambil menatap Luna, Elan mengangguk dan menyapa. “Luna.”
“Elan, saya dengar kamu akan bertemu dengan orang paling kaya dari Bekasi. Kebetulan sekali saya fasih
berbahasa Bekasian. Biar saya yang jadi penerjemahmu.” Tanpa rasa malu, dia mempromosikan dirinya sendiri
pada Elan.
“Tidak perlu. Penerjemah saya sebentar lagi akan datang.” Elan tidak ingin merepotkan Luna.
“Elan, beri saya kesempatan untuk membantumu!” pinta Luna sambil menatap dengan mata sebening kristal.
Tapi, Elan hanya melambaikan tangannya. “Urus saja urusanmu!” Setelah itu, dia mengajak asistennya, Roy, dan
pergi.
Sambil menggigit bibir merahnya, Luna menoleh dan menatap bayangan punggung Elan yang tegak dan menawan.
Awalnya, dia merasa sedih dan kecewa. Mungkinkah Elan tidak memberi saya kesempatan untuk dekat dengannya
hanya karena saya menunjukkan tanda–tanda menggoda sebelumnya? Kalau dia mengira saya akan berhenti,
kalau begitu dia salah. Saya bukan orang yang mudah menyerah begitu saja! Sejak saya lahir, saya tahu kalau saya
hanyalah sebuah alat yang digunakan Ayah saya untuk merebut Perusahaan Prapanca. Saya tidak punya pilihan
lain, jadi saya harus menanggung semua beban ini dan terus menyerang.
Setelah itu, saat pesta dimulai pukul 05:00 sore, Luna dengan sengaja merayu seorang pebisnis asing. Dia tahu
pebisnis ini mengagumi kecantikannya dan dia bahkan terus menyentuhnya beberapa kali. Meskipun begitu, dia
tetap memutuskan untuk menahannya agar bisa menjalankan rencana liciknya nanti.