Bab 459
“Saya bisa saja tutup mulut, tapi memangnya itu bisa merubah masa lalu? Memangnya Elan benar–benar tidak
peduli kalau kamu melahirkan anak haram? Tidak ada laki–laki manapun, Icrutama laki–laki seperti Elan, yang mau
membesarkan anak orang lain.” Cibir Helen.
Tanpa menunggu llclen berbicara panjang lebar, Tasya berkata, “Sudah selesai bicara? Kalau sudah, lebih baik
kamu pergi.”
Tak peduli dengan amarah Tasya, Helen terus mengeluarkan kata–kata kejamnya. “Saya kasihan pada anakmu. Dia
tidak akan pernah tahu siapa ayahnya. Bahkan yang lebih menyedihkan lagi, dia tidak tahu bagaimana dia bisa
lahir ke dunia ini.”
Tasnya mengepalkan tangannya dan berusaha menahan amarahnya. Dia berkata, “Jangan sampai saya merusak
wajah palsumu.”
Helen melangkah mundur saat dia mendengar suara kamar tempat Elan berada, seolah pintu kamarnya dibuka.
Helen pun seketika mengangkat tangannya untuk mendorong Tasya, membuat Tasya tanpa sadar mendorong
Helen.
“Ah!” seru Helen sambil terduduk di lantai. Dia berseru, “Tasya!” Dia mengusap air matanya sambil bergumam,
Follow on NovᴇlEnglish.nᴇt“Kenapa kamu tega memukul saya? Apa salah saya?”
Awalnya Tasya bingung dengan sikap Helen, tapi saat dia menoleh dan melihat Elan sedang keluar dari kamar itu,
Tasya seketika sadar apa yang sedang dilakukan Helen.
Melihat Helen menutupi sebagian wajahnya sambil bersimpuh di lantai, Tasya berjongkok dan berkata dengan nada
dingin, “Karena kamu menuduh saya memukulmu, bukankah lebih baik kalau saya benar–benar menamparmu,
kan?
Belum sempat Helen berbicara, Tasya mengangkat tangannya dan menampar sisi wajah Helen yang tidak tertutup
tangan.
Plak!
Telapak tangan Tasya membekas di pipi Helen yang penuh dengan riasan tebal.
“Tasya Merian! Kamu–” Helen sangat marah. Dia menatap Tasya tajam. Dia tidak percaya kalau Tasya berani
menamparnya.
Tapi saat dia melihat Elan berjalan mendekati mereka, dia tidak memedulikan rasa sakit di pipinya dan menangis
dengan wajah memelas. “Dia mendorong dan memukul saya, Elan! Kamu harus membela saya!”
Elan yang sedang berjalan mendekati mereka kini berdiri di samping Tasya. Matanya yang dingin menatap ke arah
Helen yang sedang menangis. Tak lama, Elan meraih
tangan Tasya dan memeriksa tangannya,
“Biarkan orang lain yang melakukan hal kotor seperti ini. Nanti tanganmu kotor.” ujar Elan penuh rasa sayang
Mendengar itu, seketika llelen merasa scolah jantungnya dibujarn pisau, Elan tidak merasa kasihan padanya, justru
dia lebili peduli pada tangan Tasya yang kotor. Ini membuatnya jengkel.
Tasya sendiri juga terkejut mendengar perkataan Elan. Perkataan Helen tadi memang seperti duri dalam lukanya,
tapi sikap lembut Elan benar–benar terasa nyata.
“Ayo pergi dan bersihkan tanganmu.” Ujar Elan sambil menggandeng tangan Tasya dan pergi dari tempat itu. Dia
bahkan tidak melihat ke arah Helen sama sekali. Sementara Helen masih bersimpuh di lantai.
Semua yang Helen lakukan sia–sia. Setelah Tasya dan Elan pergi, Helen pun berdiri. Rasa malu di wajahnya semakin
terlihat jelas. Dia tahu meskipun dia mati, Elan sama sekali tidak akan peduli. Semua yang dia lakukan justru
semakin membuatnya semakin kesulitan.
Setelah Tasya mencuci tangannya di kamar mandi, dia melihat Elan sedang menunggunya di luar.
Tasya tersenyum dan berkata, “Benar–benar melegakan.”
“Jangan pedulikan dia,” ujar Elan. “Perempuan seperti itu tidak pantas kamu pedulikan.”
Tasya menganggukkan kepalanya. “Saya tahu. Ayo pulang! Sudah waktunya menjemput Jodi.”
Elan pun menggandeng tangannya dan mereka berjalan menuju lift. Para pengawalnya sudah menunggu dan siap
Follow on Novᴇl-Onlinᴇ.cᴏmpergi bersama mereka.
Karena sekarang hampir hari Natal, suasana di luar, di sepanjang jalan yang mereka lewati, dipenuhi dengan
hiasan Natal.
Sepanjang perjalanan, tangan Elan yang hangat terus menggenggam tangan Tasya yang dingin.
Saat mereka tiba di kediaman keluarga Prapanca, Jodi sudah tertidur karena kelelahan, sedangkan Hana masih
terjaga. Dia berkata pada kedua pasangan itu sambil berbisik. “Dia baru saja tidur.”
“Tidak apa–apa. Saya akan menggendongnya ke mobil,” ujar Tasya sambil tersenyum. Anaknya yang sudah
mengantuk itu pasti akan tetap tertidur meskipun Tasya memindahkannya.
“Biar saya yang gendong” ujar Elan. Dengan sigap, dia mendekat dan menggendong Jodi. Anak laki–laki itu
membuka matanya dan saat dia melihat wajah yang familiar sedang menggendongnya, dia kembali tertidur.
“Hati–hati di jalan,” ujar Hana sebelum mereka pergi.
Tasya pun berkata dengan penuh rasa bersalah. “Nenek, beristirahatlah. Jodi pasti akan merepotkan Nenek kalau
dia ada disini.“
Previous Chapter
Next Chapter