We will always try to update and open chapters as soon as possible every day. Thank you very much, readers, for always following the website!

Antara Dendam dan Penyesalan by Jus Alpukat

Bab 42
  • Background
    Font family
    Font size
    Line hieght
    Full frame
    No line breaks
  • Next Chapter

Bab 42

Selena bertanya tentang situasi baru–baru ini dari beberapa orang lagi dan tidak berbeda dengan

informasi dari Harvey. Dia awalnya ingin menebus gadis–gadis itu, tetapi hasilnya adalah mereka

telah pindah atau ke ke

kampung

halaman. Sekarang, dia tidak dapat menemukan siapa

pun.

Selena hanya bisa berhenti untuk sementara waktu. Dia berniat untuk pergi ke rumah sakit jiwa

lagi, ketika Jane sudah selesai beristirahat nanti.

Dia mengobrol dengan Wilson sebelum berpisah. Pandangan Selena tertuju pada langit di luar,

kemudian pulang dengan naik taksi.

Pada saat ini adalah jam sibuk malam hari. Selena bersandar di jendela sembari memejamkan mata

untuk beristirahat. Saluran lokal taksi menyiarkan berita tentang “Insiden Lompat dari Gedung Rumah

Sakit Jiwa Dharmawangsa” seketika terdengar masuk ke telinganya.

Selena yang membuka mata pun meminta pengemudi untuk mengeraskan suaranya, bukankah

ini rumah sakit jiwa yang telah dia kunjungi hari ini?

Dia sibuk mengeluarkan ponselnya untuk mencari berita di internet, korbannya tidak lain adalah

Follow on NovᴇlEnglish.nᴇt

Jane, yang dia kunjungi pada siang hari tadi. Foto itu menunjukkan dia sedang melompat turun

dari lantai paling atas dengan gaun rumah sakitnya yang tipis, sembari menampakkan senyum

aneh di wajahnya.

Saat dia melihat foto tersebut, punggung Selena menjadi dingin dan bulu kuduknya serasa berdiri

di sekujur tubuhnya.

Sopir buru-buru bertanya, “Nona, kamu kenapa? Kok kamu kelihatannya sakit?”

“Nggak, aku nggak apa-apa. Aku cuma merasa kasihan sama gadis itu.”

“Dia terkena penyakit mental, jadi wajar tindakannya begitu. Anak dari saudara sepupuku mengalami

depresi dan mencoba bunuh diri beberapa kali. Bagi mereka, kematian termasuk

bebas dari masalah.”

Selena tentu tidak berani mengiakannya. Saat memikirkan gadis kecil yang diikat dan dibuat tidak

berdaya di tempat tidur dengan obat penenang, dia jelas masih sangat muda.

Dia kembali ke rumah dengan tidak bahagia, Harvey juga belum kembali. Selena bersandar di

sofa, hanya merasa lelah secara fisik dan mental.

Dia penuh dengan gambaran sosok Jane yang melompat dari gedung. Bagaikan batu yang jatuh ke

dalam air, hanya membuat lingkaran riak dan kemudian menghilang.

Memikirkan akhir hidupnya yang akan segera tiba, akankah dia juga seperti ini saat dia

1/2

+15 BONUS

meninggal? Tidak ada sanak saudara, apakah Harvey akan merasa begitu sedih? Atau merasa

lega?

Selena membuka ponselnya dan mulai membuat strategi untuk pergi ke Mohe. Día harus

memanfaatkan waktu yang ada untuk menjalani sisa hari ke depannya.

Malam ini Harvey kembali larut malam, Selena melihatnya pulang dan pergi dengan buku catatan

yang telah dia atur untuk malam itu, “Kapan kamu ada waktu pergi ke Mohe? Aku sudah

mengurus hotel dan tiket pesawat. Kita pergi dulu …

Sebelum ucapannya selesai, buku catatan di tangannya dibanting dengan keras ke lantai. Dia baru

sadar bahwa wajah Harvey penuh dengan amarah dan matanya sangat dingin, seolah–olah

tidak ada hal lagi yang bisa dibicarakan.

Senyum di wajah Selena membeku, kemudian dengan hati–hati bertanya, “Kamu kenapa?”

Tubuh tinggi Harvey dicondongkan ke tubuhnya lebih dekat. Seketika rasa dingin menyerbu

wajah Selena, bercampur rasa takut dengan tatapannya.

Follow on Novᴇl-Onlinᴇ.cᴏm

“Kamu pernah ke makam Lanny?”

Selena menganggukkan kepalanya. “Ya, aku juga mengunjungi Lanny saat menemui Nenek tempo

hari. Aku tahu kamu benci ayahku, tapi apa aku bahkan nggak layak sampai nggak boleh

mengunjunginya?”

“Mengunjungi?” Harvey mendengkus dingin, lalu melemparkan banyak foto ke arah Selena. Batu nisan

yang semula berdiri di bawah pohon plum, kini hancur berkeping–keping dan tampak

berantakan.

Selena terdiam. “Kok bisa jadi begini?”

Harvey menatap matanya yang terkejut dengan tatapan sedingin es. “Kamu masih mau berpura- pura

sekarang? Selena, dulu kamu kadang–kadang agak sombong, tapi kamu baik dan lembut. Aku sudah

berbelas kasihan padamu berkali–kali, tapi kamu begitu kejam! Lanny nggak

menikmati satu hari pun kebahagiaan saat dia masih hidup, dia masih saja diperlakukan seperti

ini begitu sudah meninggal.”

Selena bereaksi beberapa saat kemudian, dengan sedikit ekspresi ketidakpercayaan di wajahnya.

“Kamu pikir aku pelakunya?”