We will always try to update and open chapters as soon as possible every day. Thank you very much, readers, for always following the website!

Tidak Ada yang Tidak Mungkin, Jangan Pergi Full Episode

Chapter Bab 103
  • Background
    Font family
    Font size
    Line hieght
    Full frame
    No line breaks
  • Next Chapter

Bab 103 Tidur
Bila dia adalah perempuan yang mengabdi pada harta kekayaan dan melakukan apapun demi uang, dia tidak akan
menyelamatkannya ketika dia dalam bahaya.
Apakah aku salah memahaminya selama dua tahun ini?
Kekecewaan melanda Fabian.
Ketika dia berpikiran tentang kemungkinan dirinya salah memahami Vivin, dia pun menjadi tegang dan gugup.
Setelah perasaan berkecamuk, dia akhirnya mengambil ponselnya dan menelepon.
“Halo? Ini aku,” Fabian menyapa ketika panggilannya diangkat, “Coba kau cek sesuatu untukku. Selidikilah. Aku ingin
kebenaran.”
Setiba di rumah, Vivin kemudian mandi dan akhirnya bau disinfektan rumah sakit pun hilang. Setelah itu, dia pun tertidur
sesampainya berbaring di atas ranjang.
Dia tak suka dirawat inap di rumah sakit, jadi dia tidak bisa tidur selama berapa malam di sana. Kini, akhirnya dia kembali ke
rumah.
Tanpa sadar, tubuhnya kemudian menempati bagian ranjang milik Finno.
Ketika kepalanya tenggelam dalam bantal yang empuk, tiba-tiba Vivin membaui aroma tubuh Finno.

Bau shampoo, bersamaan dengan aroma cerutu. Vivin merasakan gelombang ketenangan menyergapnya saat dia menarik
napas.
Dia merasa sudah bersikap serakah, tidak ingin kembali ke bagian ranjang miliknya. Akhirnya dia tertidur di bantal milik Finno.
Di malam hari, ketika Finno masuk ke kamar, dia melihat Vivin berbaring di sisi ranjang tempatnya seperti anak kucing.
Finno berdiri tertegun sesaat sebelum akhirnya tersenyum.
Setelah menutup pintu, perlahan dia berdiri dari kursi rodanya dan berjalan ke tempat tidur.
Vivin tidur lelap dan tidak menyadari Finno yang mendekatinya..

Finno ingin menarik Vivin ke dalam selimut, tetapi ketika dia mengangkat selimut dia melihat luka di lengannya. Tak ada hal lain
yang dilakukan kecuali mengernyitkan alisnya.
Vivin telah mandi tadi. Walaupun dia memastikan lukanya tidak terkena air, beberapa percikan air tetap ada di sana.
1/2
Kekecewaan terlintas di mata Finno.
Dia perempuan dewasa. Kenapa dia tidak bisa menjaga dirinya lebih baik lagi?
Finno berniat untuk membangunkan Vivin untuk mengganti perban pada lukanya, tetapi ketika dia menatap wajah Vivin yang
begitu terlelap-bahkan sampai meneteskan air liur di bantal. Finno-dia pun urung melakukannya.
Dengan sedikit melenguh, Finno mengambil obat-obatan di meja yang dibawa oleh Vivin dari rumah sakit dan meletakkannya di
kasur. Dia kemudian secara perlahan membuka balutan lukanya.

Dalam tidurnya Vivin merasakan seseorang menyentuh balutan luka tangannya. Pada awalnya, dia tidak menggubrisnya, tetapi
rasa sakit pada luka tiba-tiba dia rasakan. Saat itulah dia terbangun. “Aduh!”
Saat membuka matanya, dia melihat Finno duduk di tempat tidur Vivin dengan kapas di tangannya. Perban pada luka di
lengannya sudah sepenuhnya terlepas, memaparkan luka ke
udara.
“Finno?” Bisiknya. “Kau sudah pulang?”
“Ya.” Finno tidak melihat ke arahnya tetapi terus terfokus pada tangannya yang tengah merawat
luka.
Vivin menggeretakkan giginya karena rasa sakit yang dirasakan. Dia tak tahan dan meringkuk. “Pelan-pelan.”
Finno mengangkat alisnya.”Aku tidak berlaku kasar. Kau lupa mengganti perban ini, jadi lukanya masih terinfeksi. Harus
kubersihkan dulu lukanya sebelum aku obati.”

Vivin segera teringat dokter yang menyarankan untuk mengganti balutan dua kali sehari. Namun, dia sudah langsung tertidur
pulas ketika tiba di rumah, sehingga tidak mengganti perban itu.
“Aku lupa,” gumamnya.
Finno menatapnya aneh. Seakan menghukumnya, dia mengoleskan obat pada lukanya lebih keras lagi. “Bagaimana bisa kau
lupa sesuatu yang sepenting ini? Apa perlu menginap lagi di rumah sakit? Sepertinya jauh lebih aman.”
Sakit akibat luka merayapi lengannya, dan wajah Vivin pucat. Dia memohon, “Aku tahu aku salah, tapi aku terlalu lelah saat ini.
Kasih tahu Muti tentang hal ini dan minta dia mengingatkanku.”
Ketika Finno melihat butiran keringat pada kening Vivin, dia segera menghentikan tekanan tangannya pada luka. Dia bertanya,
“Apakah ini terasa sangat sakit?”
“Ya, tentu saja. Coba saja kau menghujamkan pisau di tanganmu,” gerutunya.
Hanya kelihan biasa, tetapi Finno meredupkan matanya dan berbisik, “Aku sudah pernah ditikam sebelumnya.”