Suasana di mobil itu sangat hening, sehingga suara Agatha yang sedang panik menjadi terdengar
nyaring. Selena dengan jelas mendengar kata “Harvest”.
Dia masih ingat hari di mana dia mendapatkan laporan tes kehamilan. Dia bergegas berlari ke pelukan
Harvey dengan penuh harapan sambil berkata, “Harvey, kamu akan menjadi seorang ayah! Kita akan
punya anak! Aku sudah memikirkan nama bayi kita. Jika perempuan, kita beri nama Helena Irwin.
Sedangkan jika laki-laki, kita beri nama Harvest Irwin. Itu adalah gabungan dari nama kita berdua,
apakah menurutmu bagus?”
Selena sangat berharap dirinya tadi salah dengar. Namun, Harvey tidak menghindari tatapannya dan
hanya menjawab, “Namanya Harvest Irwin.”
“Bajingan!”
Selena mengangkat tangannya dan menampar Harvey. Kali ini Harley tidak menghindar dan
membiarkan Selena menamparnya.
“Beraninya kamu memanggil anak yang dia lahirkan dengan nama anak kita!”
Anak itu adalah benteng terakhir Selena. Air matanya sudah seperti pecahan mutiara. Selena
menerkamnya seperti orang gila sambil beraung, “Dasar iblis, kenapa Tuhan mengambil nyawa anak
kita? Kenapa bukan kamu saja yang mati?”
Selena yang kehilangan akal sehatnya terus memukul-mukul Harvey dengan keras sambil berkata,
“Dia tidak pantas diberi nama ini!”
Harvey meraih tangannya sambil memerintahkan Alex, “Kita pergi ke Perumahan Kenali.”
Selena menjadi semakin mengamuk. “Sebentar lagi kita sudah sampai ke Kantor Catatan Sipil. Jika
kamu ingin pergi, kamu harus bercerai denganku dulu,” ujarnya.
“Demam anakku tidak kunjung turun, aku harus segera ke sana.”
Selena berkata dengan marah, “Ayahku masih terbaring tak sadarkan di di rumah sakit, bahkan
perawat yang menagih biaya rumah sakit membuatku tidak berani masuk ke rumah sakit! Memangnya
hanya nyawa anakmu yang penting? Nyawa ayahku tidak penting?”
Saat mendengar Selena menyebut tentang Arya, ekspresi Harvey menjadi dingin. “Memangnya Arya
layak dibandingkan dengan Harvest?” ungkap Harvey.
Emosi Selena sudah memuncak, sampai-sampai dia ingin menerkam dan menampar Harvey lebih
keras lagi, tetapi tangannya ditahan dengan sangat kuat. Harvey pun dengan berteriak keras, “Apakah
kamu belum puas bikin keribuatan?!”
Follow on NovᴇlEnglish.nᴇtSelena memperhatikan mobil itu berbalik arah. Padahal setelah belokan ini, mereka akan tiba di Kantor
Catatan Sipil.
Untuk mencegahnya melawan lagi, Harvey memeluk Selena erat-erat dalam dekapannya. Pelukan
yang dahulu menjadi kenyamanan terbesar bagi Selena, sekarang malah menjadi bagaikan penjara
yang mengurung dirinya.
Tenaga Harvey begitu kuat, sehingga Selena tak berdaya untuk membebaskan diri. Dia pun hanya bisa
meronta sambil berkata, “Apakah kamu begitu mencintai Agatha?”
Harvey sedikit bingung. Saat memeluk Selena, dia menyadari bahwa gadis ini bukan hanya menjadi
begitu kurus, jika dibandingkan dengan setahun yang lalu, Selena benar-benar adalah dua orang yang
berbeda. Meski tubuhnya dibalut pakaian, tetapi tetap saja tulang-tulangnya terlihat menonjol.
Gadis yang pernah begitu dicintainya seperti bunga yang indah di genggamannya itu, kini menjadi layu
dari hari ke hari. Sungguhkah ini yang diinginkan Harvey?
Ketika baru saja timbul keraguan di dalam pikirannya, bayangan mayat perempuan yang menyedihkan
itu muncul di benaknya. Tangan yang melingkar di pinggang Selena perlahan-lahan menjadi erat
semakin erat.
Ketika kepalanya mendongak, kepedihan di mata Harvey pun menghilang, hanya menyisakan aura
dingin yang luar biasa.
“Selena, jika kamu membuat keributan sekali lagi, percaya atau tidak kalau aku akan segera menyuruh
seseorang mencabut tabung oksigen Arya?”
Tangan Selena mencengkeram erat pakaian Harvey, air matanya pun membasahi kemeja Harvey.
Harvey jelas-jelas pernah mengatakan bahwa dia tidak akan membiarkan Selena meneteskan air mata
lagi, tetapi sekarang dialah penyebab yang membuat Selena menangis.
Suasana di dalam mobil begitu sunyi dan mencekam, sehingga orang-orang merasa seakan sulit
bernapas. Sesudah bisa menenangkan diri, Selena pun bergerak menjauhkan tubuhnya dari Harvey,
lalu merapikan pakaian dan duduk dengan tegak.
Selena menghela napas dan berkata, “Kamu ingin pergi menemui putramu, itu adalah hakmu. Tapi
jangan sampai masalahmu ini mengganggu rencana awal kita. Kamu tidak perlu khawatir aku akan
menganggumu lagi. Jika kamu tidak ingin bercerai, aku tetap ingin bercerai. Aku tidak punya kebiasaan
memungut barang bekas.”
Harvey mengerutkan kening ketika mendengar kata “barang bekas”, sementara Selena tetap lanjut
berbicara tanpa menghiraukannya, “Aku akui bahwa aku terlalu naif di masa lalu, aku bahkan memiliki
harapan yang tidak realistis terhadap dirimu. Sekarang aku sudah paham, lebih baik aku merelakan
sampah tak berguna yang tidak bisa kupertahankan ini! Berikan uangnya kepadaku dan selesaikan
administrasinya saat kamu punya waktu. Aku jamin akan segera datang kapan saja, aku tidak akan
menyesalinya.”
“Bagaimana jika aku tidak mau memberikannya?” tanya Harvey.
Selena menatap mata Harvey yang berwarna hitam pekat. Mata Selena yang baru saja tadi menangis,
sekarang sudah menjadi jernih dan cerah. “Kalau begitu, aku akan melompat keluar dari mobil. Tidak
ada gunanya lagi aku hidup jika ayahku tidak bisa terselamatkan.”
Harvey mengeluarkan cek dan menulis sebuah nominal, lalu menyerahkannya kepada Selena sambil
berkata, “Sepuluh miliar rupiah, sisanya akan kubayarkan setelah kita bercerai.”
Selena tersenyum dingin sambil berkata, “Apa kamu begitu takut jika aku tidak jadi bercerai
denganmu? Jangan khawatir, aku bahkan merasa jijik bersama denganmu meskipun hanya sedetik
saja. Berhenti!”
Dia mengambil cek itu, lalu dengan keras menutup pintu mobil dan pergi tanpa menoleh ke belakang
lagi.
“Akhirnya Ayah bisa diselamatkan!” pikir Selena.
Selena segera mencairkan cek tersebut. Hal pertama yang dia lakukan adalah melunasi tagihan
medis, hal kedua yang dia lakukan adalah naik taksi menuju ke alamat yang diberikan Chandra.
Tempat itu adalah sebuah pemakaman keluarga yang mewah, di mana orang-orang yang dimakamkan
di sana adalah orang kaya dan berpengaruh, termasuk Ella, neneknya Harvey. Selena membeli bunga
kamboja favorit Ella.
Beberapa saat kemudian, Selena menemukan sebuah kuburan baru yang dikelilingi oleh pohon plum.
Pohon-pohon plum itu sudah berbunga dan akan segera mekar tidak lama lagi.
Batu nisan yang dingin itu terukir dengan nama yang tidak dikenalnya, “Makam Lanny Irwin.”
Dia tahu bahwa Harvey sangat mencintai adik perempuannya. Setelah adiknya itu hilang, Harvey pun
menjadikan hal itu sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan. Harvey tidak lagi mengizinkan orang lain
untuk menyebut nama adiknya, sehingga Selena pun tidak tahu apa-apa tentang adiknya Harvey itu.
“Lanny Irwin, apakah itu namanya?” pikir Selena yang belum pernah mendengar nama itu.
Dia berjongkok dan melihat foto di batu nisan tersebut. Sepertinya itu adalah foto Lanny ketika berusia
lima atau enam tahun sebelum menghilang. Wajahnya masih tampak imut dan tembam. Di antara
alisnya, samar-samar bisa terlihat bayangan Harvey.
Follow on Novᴇl-Onlinᴇ.cᴏmSelena masih belum mendapatkan petunjuk apa-apa. Dia pun memotret foto tersebut dengan
ponselnya untuk dijadikan sebagai satu-satunya petunjuk.
Dia meletakkan bunga kamboja yang awalnya dia beli untuk Ella, lalu berlutut di depan batu nisan
Lanny dan berkata, “Lanny, namaku Selena. Jika kamu masih hidup, kamu seharusnya memanggil aku
sebagai kakak ipar. Oh tidak, seharusnya mantan kakak ipar. Aku minta maaf karena harus
mengenalmu dengan cara seperti ini. Aku yakin aku akan menemukan pelaku sebenarnya yang
membunuhmu … ”
Makam Ella tidak jauh dari sana. Foto Ella terlihat ramah dan penuh kasih sayang, senyumannya tetap
sama seperti dulu.
Selena mengambil ubi jalar yang dipanggangnya di pagi hari dari dalam sakunya, lalu meletakkannya
di depan batu nisan sambil berkata, “Nenek, aku datang menjenguk Nenek. Sekarang sudah
memasuki musim dingin lagi. Sekarang aku tidak bisa berebut ubi jalar lagi dengan Nenek, ubi jalar
bahkan tidak ada rasanya lagi bagiku.”
Karena agak lelah setelah berdiri terlalu lama, dia pun duduk di samping batu nisan. Dia
memperlakukan Ella seolah-olah masih hidup dan bernostalgia dengannya.
“Nenek, maafkan aku, aku tidak berhasil mempertahankan anak itu. Tapi Harvey yang tidak tahu malu
itu telah memberikan keturunan untuk Keluarga Irwin. Nenek tidak perlu mengkhawatirkan masalah
penerus lagi.”
“Nenek, dia sudah berubah, dia bukan lagi orang yang kukenal. Dulu dia bilang dia akan melindungiku
dari badai dan hujan, tapi sekarang semua badai yang aku hadapi ini adalah badai yang dibawa
olehnya. Jika Nenek masih hidup, Nenek pasti tidak akan membiarkan dia memperlakukan aku seperti
itu.”
Selena tersenyum terpaksa dan berkata, “Nenek, Harvey dan aku akan segera bercerai. Dulu Nenek
pernah bilang, jika dia berani menindasku, Nenek akan merangkak keluar dari peti mati dan
meledakkan kepalanya meskipun Nenek sudah meninggal. Umurku tidak panjang lagi, sebentar lagi
aku akan menyusul Nenek. Ayo merangkaklah keluar untuk meledakkan kepalanya bersama-sama!”
“Nenek, seperti apa rasanya kematian? Apakah gelap? Aku takut ada serangga kecil yang
menggigitku, apa yang harus kulakukan?”
“Nenek, bagaimana kalau aku mendoakan Nenek agar bisa punya banyak uang di alam sana? Lalu
Nenek simpan uangnya untukku. Ketika aku menyusul Nenek, belikanlah aku vila besar seluas 800
meter persegi.”
“Nenek, aku merindukan Nenek … “