Bab 89 Kegundahan Dalam Dirinya
Andai saja Vivin bisa mencintaiku selayaknya Alin mencintaiku, sampai rela berkorban melakukan apapun demi diriku... Betapa
bahagianya aku...
Menghela napas panjang, Fabian cepat-cepat tersadar akan mimpi di siang bolongnya itu. “Baiklah kali ini kuanggap tidak ada
masalah. Tetapi untuk ke depannya, kau harus mendiskusikan dulu denganku sebelum melakukan sesuatu, ok?”
Mengetahui bahwa dia tidak jadi disalahkan, ekspresi lega dan bahagia tampak di wajah Alin. Sambil memeluknya, dia berjanji,
“Tentu saja! Aku tidak akan melakukannya lagi! Aku janji! Fabian sayang, kau benar-benar baik sekali deh.”
Alin menatap laki-laki di hadapannya itu, binar-binar di matanya tiba-tiba kembali. Dengan tatapan yang menggoda, ditambah
suara-suara yang memikat, dia berkata dengan penuh godaan, “Fabian, semenjak kepulanganmu, sudah lama kita berdua tidak
melakukan...”
Fabian dibuat terdiam.
Hanya lampu meja tempat tidur yang menyala, cahaya di sekitarnya pun redup dan seketika suasananya dipenuhi dengan
berbagai rangsangan. Dalam remang-remang cahaya, wajah Alin tumpang tindih dengan wajah yang sangat dikenal dalam
ingatannya.
Kemudian Alin mengambil inisiatif dengan memperpendek jarak di antara mereka berdua. Bibir merahnya kian mendekat seiring
tubuhnya menyentuh tubuh Fabian. Fabian bisa merasakan lekukan tubuhnya itu dan seketika Alin mendesah. “Fabian... aku
menginginkanmu...”
H
Saat Alin mendekatinya, aroma yang kuat dari tubuhnya tercium menusuk ke hidungnya.
Aroma tubuhnya itu, tiba-tiba, menyadarkan lamunannya, bagaikan ember berisi air dingin disiram ke hadapannya.
“Tidak.” Tegas Fabian, dia mengatakan satu kata itu lalu mendorong Alin.
“Fabian...”
Kaget akan sikapnya padanya, Fabian bingung bagaimana harus bersikap pada Alin, alih-alih dia hanya bisa berkata, “Hari ini
aku lelah. Bagaimana kalau lain waktu?”
Alin marah. Tidak harus berkata apa akhirnya dia terpaksa mengigit bibirnya dan mengangguk sambil berjalan keluar.
Fabian lalu bersiap-siap untuk mandi. Sebelum dia masuk ke kamar mandi, mau tidak mau dia berbalik badan ke arah wanita
yang mematung itu. Melihat Alin yang kebingungan, dia justru menambahkan garam pada lukanya, “Alin sayang, parfum yang
kau pakai itu terlalu menusuk. Jangan pakai lagi, ya. Aku tidak suka.”
Setelah mengatakan kata-kata itu, dia masuk ke kamar mandi tanpa menunggu jawaban darinya
1/3
ataupun menoleh ke arahnya.
Alin benar-benar telah diabaikan, wajahnya yang pucat pasi di tengah cahaya remang-remang kamar seperti badan yang tidak
ada jiwanya.
Lagi-lagi. Alin ditolak Fabian.
Semenjak kepulangannya, Alin sudah berkali-kali mencoba mendekatinya. Setiap percobaannya selalu gagal seakan Fabian
menolaknya mentah-mentah. Tidak hanya itu, dia juga tidak pernah menghabiskan waktu bersamanya. Justru, Fabian lebih
sering berada di kantor majalahnya.
Kantor majalah di mana Vivin bekerja.
Dan sekarang, dia berani mengatakan bahwa parfumku menusuk? Dasar alasan. Tidak tahu diri!
Saat pertama kali mereka bersama, jelas-jelas Fabian sangat menyukai wangi parfum ini. Oleh karena itu, Alin selalu rajin
menyemprotkan parfum ini ke badannya pada siang maupun malam hari setelah mandi.
Jadi sekarang menurutnya aku lebih baik tidak pakai parfum apapun?
Di zaman sekarang ini, perempuan mana yang tidak pakai parfum?
Vivin Williardi....
–
Seketika nama itu muncul di dalam pikirannya, wajah Alin berubah pucat dan bergidik.
Apa aku terlalu berpikir berlebihan? Fabian itu... aku yakin pasti dia belum bisa melupakan Vivin!
Sekali lagi amarahnya memuncak dan hampir saja meledak. Dia melempar bantal dan selimut, membuat kamarnya berantakan.
Vivin!
Dasar kau wanita murahan!
Kau itu hanyalah wanita miskin, dari keluarga rendah. Memangnya apa yang kau punya sampai mau mengambil laki-lakiku
dariku?!
Kau yang memaksaku masuk ke dalam hubungan ini sedikit demi sedikit, selangkah demi selangkah! Maka jangan salahkan aku
jika mulai sekarang aku tidak akan segan-segan lagi!
Setelah yakin Fabian masih berada di dalam kamar mandi dia pun mengeluarkan ponselnya dan menghubungi nomor
seseorang yang dia kenal.
“Halo.” Seketika telepon diangkat, dia bicara dengan pelan dan bernada dingin. “Temukan untukku orang tua yang waktu itu.
Bilang padanya bahwa aku butuh bantuannya. Jika dia mau, akan kucarikan beberapa wanita cantik dan muda untuk
menghiburnya. Tentu saja gratis.”
2/3
Pagi esok harinya.
Saat Vivin terbangun dari tidurnya, Finno sudah terlebih dahulu bangun dan sedang berdiri di depan cermin yang setinggi langit-
langit, mengancingkan kemejanya.
Beberapa masih belum dikancingkan, memperlihatkan dadanya yang bidang dan tegap dengan garis-garis otot yang jelas.
Benar-benar sebuah mahakarya yang patut dipandangi, yang dicapai melalui kerja keras dan disiplin ketat.
Vivin tidak menyangka matanya begitu dimanjakan pagi-pagi buta seperti ini. Dia hanya bisa melongo melihat sosok suaminya
yang begitu gagahnya.
Menyadari tatapan kosong perempuan itu terhadap dirinya yang terpantul di cermin, Finno berusaha keras menyembunyikan
senyumnya. Dengan suara yang lembut dan jantan dia berkata, “Jadi... apa kau puas sekali dengan tubuhku ini?”