Bab 744
Saat menyadari Luna masih bersikeras dan berlaku bodoh, dengan dingin Elan bicara, “Luna, kamu sama sekali
tidak memenuhi syarat untuk melahirkan anak saya.”
“Tetapi saya ingin melahirkan anakmu; saya tidak meminta apapun sebagai imbalan. Saya hanya ingin memiliki dua
anak yang memiliki hubungan darah denganmu. Saya berjanji tidak akan pernah membuatmu dalam masalah lagi.
Saya jamin, Elan, saya tidak akan pernah menikah lagi seumur hidup. Saya akan mengurus dua anak ini dengan
sempurna.” Luna berusaha memberi kesan yang baik pada laki–laki itu.
“Luna, orang yang paling terkena dampak dari situasi ini adalah istri saya. Kamu tidak mempertimbangkan
keberadaannya secara sungguh-sungguh, dan dia adalah orang yang paling saya cintai. Apakah menurutmu saya
akan memberi kamu kesempatan untuk menyakiti istri saya?” Sambil marah dan frustasi, dia berteriak dengan
mata berkobar–kobar dipenuhi aura membunuh.
Luna terperanjat melihat amarahnya dan menopang tubuhnya pada sofa dan duduk secara perlahan. Jika tidak
segera duduk, kakinya akan terasa sangat lemah sehingga akan membuatnya terkulai jatuh ke lantai.
Follow on NovᴇlEnglish.nᴇt“Maaf, saya sudah menyakiti perasaan Tasya, tetapi saya juga mencintaimu! Sejak kecil, saya sudah memiliki
perasaan khusus padamu. Mungkin sayalah yang akan menikah denganmu jika ayah tidak melarang Kepulangan
saya. Kamu ingat bukan, tidak ada Tasya ketika kita pertama kali bertemu!” ucap Luna dengan matah memerah.
Dia selalu merasa dirinya tidak beruntung, bahwa dia terlahir dalam Keluarga Prapanca dan memiliki ayah yang
sangat tegas dan kaku. Kalau tidak, dia pasti sudah akan sanggup mengejar kebahagiaannya.
“Saya tidak membutuhkan cinta kotormu itu, sekarang mari pulang bersama saya.” Ucap Elan dengan tegas, “Jika
tidak mau pulang dengan saya, maka kamu tidak akan pernah bertemu dengan ayahmu lagi. Saya akan
menggugurkan bayi itu, dan keluargamu akan merasakan penderitaan seumur hidup.”
“Elan, kamu tidak bisa memperlakukan keluarga saya seperti itu; mereka itu juga bagian dari Keluarga Prapanca.”
Luna khawatir karena msih memiliki seorang adik laki–laki, yang baru berusia delapan belas tahun dengan masa
depan cerah di depannya.
“Ini bukan tentang apakah saya akan mendapatkan sesuatu dari mereka atau tidak, tetapi lebih pada kerjasamamu
pada hari ini. Jika kamu kooperatif, saya akan melakukan apa yang perlu dilakukan.” Saat berkata dengan suara
rendah, niat membunuh yang terlihat di matanya semakin kuat saat ini.
Luna mengambil napas dalam–dalam. Apakah Elan akan membunuhnya di sini?
Dan apa yang membuat Luna berpikir bahwa Elan akan melakukan hal seperti itu? Mengapa dia memiliki perasaan
cinta yang teramat dalam untuk Tasya?
“Baiklah, saya akan pulang bersamamu.” Luna merasa putus asa karena dia yakin Elan akan menelantarkan anak–
anak mereka bagaimanapun usahanya untuk melahirkan mereka. Mengapa anaknya sudah diberi kutukan sejak
mereka lahir ke dunia?
Luna terbiasa menipu dirinya sendiri dengan beranggapan bahwa Elan memiliki perasaan khusus padanya.
Rupanya, hatinya hanya untuk Tasya dan tidak memiliki ruang untuk perempuan lain.
Kedua asisten Luna hendak masuk, tetapi ditahan oleh dua pengawal yang berdiri di samping dan tidak berani
mengatakan satu patah kata pun.
“Mari kita pulang, Nona Prapanca!” asisten ikut membujuk. Jika bukan karena uang, mereka tidak akan pernah
mau menjadi bawahannya dan mempertaruhkan nyawa dalam bahaya.
Saat menoleh untuk melihat Elan yang berdiri di koridor, mereka tiba–tiba menyadari betapa mereka sudah
membuatnya kesal.
Follow on Novᴇl-Onlinᴇ.cᴏm“Cepat berkemas, ayo kita pergi!” Luna, dengan mata tertutup, bergumam penuh ketakutan.
Tindakannya yang gegabah ini telah mempermalukan keluargannya, menjebloskan ayahnya ke dalam penjara, dan
membuat Elan marah. Tak lama lagi keluarganya akan dipaksa pergi, dan tidak ada kemungkinan bagi mereka
untuk diurus oleh Keluarga Besar Prapanca lagi.
Tengah malam, sebuah mobil tiba di bandara, dan kurang lebih tiga jam kemudian, pesawat pun lepas landas dari
bandara setempat.
Saat ini, sebuah arak–arakan mobil melewati sebuah rumah mewah, dan Marina, yang duduk di bangku belakang,
menggenggam ponselnya dan dengan marah menekan nomor ponsel cucunya.
“Halo, Nenek,” orang di seberang telepon menjawab seakan tidak terjadi apa–apa.
“Arya, apa kamu sedang cari masalah dengan Nenek?” Marina siap–siap akan meledak.
“Tenang, Nenek. Nenek sudah tua, jangan marah–marah.”
“Nenek yakin pasti kamu sudah bertindak tidak patuh. Kamu tidak mendengarkan perkataan Nenek. Kamu sudah
dewasa, bukan? Nenek akan membekukan semua kartumu mulai hari ini. Nenek hanya akan membukanya kembali
saat kamu pulang,” teriaknya dengan marah.
Di ujung lain, Arya tertawa dan berkata, “Nenek, rupanya Nenek terlalu meremehkan kemampuan cucu Nenek ini.
Saya bisa hidup nyaman meskipun tanpa berbagai kartu itu.”