Bab 743
Elan hanya terpikir satu hal di dalam benaknya: membawa kembali Luna sehingga dia bisa menyelesaikan operasi
di rumah sakitnya dan menenangkan istrinya.
Oleh karena itu, dia tidak ingin menunggu lebih lama lagi.
Pada momen itu, Elan menyadari seorang gangster sedang menuju ke arahnya dari semak–semak yang berjarak
enam meter darinya, jadi dia memberi isyarat kepada Rizal untuk bersama–sama menghadapinya. Jantung Rizal
berdetak cepat dan bergegas di belakang Elan.
Gangster itu datang untuk memeriksa sekitar ketika didengarnya ranting patah di pepohonan di belakangnya, tidak
menyadari kalau itu adalah batu yang dilempar Rizal.
Begitu gangster mencari sumber suara di sekeliling dengan panic, Elan melangkah dari belakang, merebut
senjatanya, melumpuhkannya.
Elan langsung melihat magasin pistol dan rupanya isinya lebih dari cukup. Seketika, matanya berubah menjadi
sedingin batu, lalu Rizal mengikuti dari belakang ketika melihat Elan bergerak ke arah gangster.
Follow on NovᴇlEnglish.nᴇtDalam beberapa menit, sekawanan burung yang ketakutan terbang dari hutan disertai suara keras dan jeritan.
Setelah lima belas menit, akhirnya menghening sama sekali.
Rizal, yang sedang memegang senjata, terperanjat menyaksikan sebuah adegan film aksi di mana laki–laki yang
sedang dilindunginya, Elan Prapanca, adalah pemain utamanya.
“Ayo kita pergi sebelum matahari terbenam!” ucap Elan pada Rizal ketika menjatuhkan pistol di tangannya.
Rizal pun tersadar, dan segera mengikuti Elan dari belakang.
Saat mengendari mobil; mereka menghubungi anggota tim lain yang berada di tiga mobil lainnya. Anggota tim di
mobil itu tak lama kemudian datang menjemput mereka, tetapi dua pengawal yang terluka sudah dibawa ke rumah
sakit.
Kemudian, Elan mengambil ponselnya dan menekan nomor ponsel Tasya.
“Halo! Halo, Elan, apakah ini kamu?” suara Tasya sangat emosional.
“Ini saya. Jangan khawatir, saya baik–baik saja,” Elan meyakinkannya. Tasya pasti sangat khawatir di rumah selama
dua jam lalu!
“Kamu membuat saya takut setengah mati.” Tasya terisak, menunjukkan kalau sebelumnya dia sudah menangis.
“Saya tidak akan mati dengan begitu mudah. Saya masih harus menjagamu dan Jodi sepanjang hidup saya!” Elan
mencoba membujuknya dengan candaan.
Di sisi lain, Tasya semakin terisak–isak. “Bisakah kamu menahan dirimu untuk tidak membahas tentang kematian?
Saya tidak ingin mendengar hal itu darimu.”
“Oke, baiklah. Saya tidak akan membahasnya lagi,” bujuk Elan dengan lembut.
Sikap Elan membuat Rizal terkejut. Apakah dia Bapak Prapanca yang sama dengan yang menghabisi para gangster
di hutan?
Tasya meminta Elan untuk pulang lebih cepat saat mengetahui dia akan menjemput Luna.
Sementara itu, Luna duduk di sofa, sedang menyeruput minuman bertenaga. Dia ingin keluar mencari udara segar
dan menenangkan diri, karena merasa kaku dan jenuh di dalam villa. Kemudian, dia teringat akan peringatan dari
ibunya dan akhirnya mengurungkan diri.
Pada malam hari, villa lebih terlihat lebih hidup. Beberapa bayangan orang–orang tampak di dinding luar villa, dan
para pengawal menuntun jalan saat mereka memanjat dinding.
Luna tengah tertidur di kamarnya ketika menyadari adanya suara. Panik, dia segera bangkit berdiri dari tempat
Follow on Novᴇl-Onlinᴇ.cᴏmtidurnya dan memanggil asistennya, tetapi tidak ada tanggapan.
Ketika berjalan menelusuri koridor, dia memikirkan asistennya ketika menyadari pintu rumahnya dibuka paksa dan
ada sosok tinggi berbalut bau darah memasuki rumah dengan tampang dingin.
Luna segera melangkah mundur dan gemetar karena sangat ketakutan. Laki–laki yang muncul di hadapanny a saat
itu bukan laki–laki yang sama yang menggenggam hatinya; sebaliknya dia adalah inkarnasi Hades yang berbahaya,
yang turun dari neraka.
“E- Elan, apa yang kamu lakukan di sini?” Luna mencoba tetap tenang, tetapi emosinya campur aduk.
Saat menatapnya lebih dekat, Luna menyadari jas Elan dilumuri sesuatu berwarna merah yang mirip dengan darah
manusia.
Dalam sekejap, Luna menyadari akan sesuatu. Ibunya tidak memberitahu rencananya kepadanya. Apakah ini yang
Ayah coba lakukan dengan menyerangnya?
“Apakah kamu bersedia pulang dengan saya secara sukarela, atau kamu ingin saya memaksa membawamu
pulang?” ucap Elan dengan dingin.
Saat menatap gadis di depannya, yang dengannya dia menghabiskan masa kecilnya bersama–sama, Elan sudah
tidak lagi merasakan apa–apa. Dia merasa jijik sampai pada titik dia tidak ingin menatap perempuan itu lagi.
“Saya tidak mau pulang, dan saya tidak akan pergi kemana–mana.” Luna yang penuh emosional menggelengkan
kepalanya dan memohon, “Elan, ada anak di dalam rahim saya. Bolehkah saya melahirkannya? Saya berjanji bayi
ini akan tumbuh menjadi anak yang sehat.”